Aroma Pesisir/Coastal Scent

Rice Walk
Audiovisual live performance set
12 min
2025
Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir laut terutama yang bermata pencaharian sebagai nelayan secara rutin setiap tahunnya menggelar upacara sakral berupa pemberian kepada laut. Sebuah upacara yang dilaksanakan dengan rasa gembira dan penuh syukur dengan berlandaskan rasa terima kasih kepada alam yang telah memberikan sumber daya yang berlimpah.
Di Cirebon, bagian Desa Citemu Kecamatan Mundu pada khususnya, upacara ini dikenal dengan nama Sedekah Laut atau yang secara lokal lebih dikenal dengan nama Nadran yang setiap tahunnya dilaksanakan pada akhir bulan Juli. Belum dapat benar - benar dipastikan kapan tradisi upacara ini mulai dilakukan di daerah tersebut.
Nadran atau Sedekah Laut dilakukan selama satu hari dengan kegiatan yang dimulai di pagi hari melalui arak - arakan sesaji berupa patung - patung besar yang diringi dengan alunan musik keras dan tarian, pentas wayang kulit dan nyanyian kidung oleh dalang, pembacaan doa pada air - air yang ditampung di dalam ember dan larung atau pelarungan miniatur kapal dengan sesaji serta kepala kerbau ke lautan. Pergeseran metode upacara dan objek sesaji tampaknya telah mulai terjadi. Alunan musik yang disajikan pada saat arak - arakan kini dipenuhi dengan musik koplo modern. Di bagian depan barisan iring - iringan para pemuda dan pemudi yang berpakaian seragam dengan variasi warna rambut berjalan dengan sambil menari, di bagian belakangannya berjalan sesaji berupa patung - patung besar, kemudian di bagian akhir barisan tumpukan besar speaker didorong yang kadang diduduki oleh satu atau dua orang di atasnya dengan para penyanyi serta pemain musik duduk - duduk di bagian belakang kendaraan sambil memainkan musiknya. Musik yang keluar dari speaker sangatlah keras yang mungkin dapat membuat orang yang tidak terbiasa merasa terganggu.
Arak - arakan ini berjalan dari dalam kampung nelayan hingga jalan raya dan pinggir sungai di mana perahu - perahu bersandar. Tua, muda, perempuan dan laki - laki semuanya tumpah ruah. Bernyanyi dan menari. Orang - orang juga banyak yang berdatangan untuk sekedar melihat di pinggir jalan utama.
Sementara arak - arakan terus berlangsung, pentas wayang dilakukan di siang hari di bagian dalam kampung pelataran desa samping sungai tempat perahu - perahu bersandar. Alunannya masih bersifat tradisional dengan nyanyian atau kidung - kidung berbahasa Cirebon. Ember - ember berisi air yang ditaburi kembang tujuh rupa berjejer di depan pentas wayang menunggu untuk didoakan. Miniatur kapal yang sudah dihiasi oleh sesaji dan kepala kerbau kemudian dipersiapkan di dekat perahu siap untuk dilarungkan.
Tepat setelah jam tengah hari, perahu - perahu berhamburan keluar dari dermaga sungai menuju ke lautan. Turut serta juga perahu yang membawa miniatur perahu dan kepala kerbau. Ketika perahu yang membawa sesaji tiba di area setelah bibir pantai, kemudian ia berhenti bersiap untuk melakukan inti upacara.
Miniatur perahu beserta dengan sesajiannya dan kepala kerbau kemudian didoakan dan dilarungkan ke lautan. Setelahnya para kapten perahu memandikan kapalnya dari setiap sisinya dengan segera. Setelah pelarungan selesai semua perahu kembali ke dermaga untuk kembali dibasuh oleh air kembang tujuh rupa yang sebelumnya telah didoakan.
Pertanyaan lain yang mungkin perlu untuk diselidiki yaitu sesaji yang terdapat pada miniatur perahu. Sesajian seperti apa yang dahulu disediakan? Karena kini dari apa yang terlihat, miniatur perahu justru hanya didekorasi oleh penganan - penganan kecil yang dapat dibeli di warung semacam snack - snack ciki kecil. Berapa banyak perahu yang biasanya ikut melarungkan sesajian ke lautan? Karena kini yang terlihat hanya sekitar 35 perahu. Apakah para nelayan masih memercayai tradisi ini? Atau ini kemudian hanya hadir sebagai perayaan saja.
The people who live in coastal areas, especially those who work as fishermen, routinely hold a sacred ceremony every year in the form of offerings to the sea. This ceremony is carried out joyfully and with gratitude, based on a sense of thankfulness to nature for providing abundant resources.
In Cirebon, particularly in Citemu Village, Mundu District, this ceremony is known as Sedekah Laut or, more locally, as Nadran, and it is held annually at the end of July. The exact origin of when this tradition began in the area remains uncertain. Nadran or Sedekah Laut is a one-day event that begins in the morning with a procession of offerings in the form of large statues, accompanied by loud music and dancing, shadow puppet performances (wayang kulit), traditional songs (kidung) sung by a puppeteer (dalang), the recitation of prayers over water stored in buckets, and the launching (larung) of a miniature boat with offerings and a buffalo head into the sea.
Shifts in ceremony methods and the offerings themselves seem to have started occurring. The music accompanying the procession now often features modern koplo (a genre of Indonesian dangdut) music. At the front of the procession are young men and women in matching outfits with various hair colors dancing along. Behind them are the offering statues, followed at the end by large stacks of speakers being pushed, sometimes with one or two people sitting on top. Musicians and singers also sit behind the vehicle, playing their instruments. The sound from the speakers is very loud—possibly disturbing to those unaccustomed to it.
The procession travels from the heart of the fishing village to the main road and the riverbank where boats are docked. People of all ages—young and old, men and women—gather in large numbers, singing and dancing. Many others come just to watch from the roadside. While the procession continues, the shadow puppet show is performed in the afternoon in a village square near the river where the boats are anchored. This performance still uses traditional Cirebonese language songs and chants.
Buckets of water sprinkled with seven types of flowers are lined up in front of the stage, waiting to be blessed with prayers. The miniature boat, already decorated with offerings and a buffalo head, is then prepared near a boat ready to be launched. Right after midday, the boats leave the river dock for the open sea. One of the boats carries the miniature offering boat and the buffalo head. When this boat reaches the designated area just off the coast, it stops to begin the core ritual. The miniature boat, along with the offerings and buffalo head, is then prayed over and launched into the sea. After this, the captains of the boats quickly rinse their vessels from all sides. Once the launching is complete, all the boats return to the dock to be washed again with the flower water that had previously been blessed. The launching is the central ritual of the Sedekah Laut procession.
Other questions worth exploring include what kinds of offerings were traditionally placed on the miniature boat. What kind of offerings were used in the past? Because now, based on observation, the miniature boat is mostly decorated with small snacks bought at local stalls. How many boats used to take part in the offering ritual? Because on the day, only about 35 boats can be seen participating. Do the fishermen still believe in the tradition? Or has it simply become a festive celebration?